Konsep da'wah di era multikultural dan multi ideologi
21.48 // 0 komentar // Nur Salim // Category: //Pokok-pokok Konsep Dakwah Menurut Muthahhari
Dalam beberapa karyanya, meskipun dibahas secara terpisah-pisah, Muthahhari telah membahas mengenai permasalahan dakwah. Pemikirannya mengenai dakwah sedikitnya dapat dilihat di dalam beberapa karya beliau di bawah ini:
Pertama, dalam kitab Khatm Nubuwwah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul yang sama dengan judul aslinya, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The End of Prophethood, dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhir Kenabian (1988). Dalam subbab “Kenabian Dakwah”, Muthahhari telah membahas mengenai urgensi dakwah dan karakteristik dakwah Rasulullah.
Kedua, dalam kitab Payambar Ummy, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Nabîy al-Ummiy, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Unschooled Prophet (1991), dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhlak Suci Nabi yang Ummi. Pada subbab “Menyeru kepada Kebenaran” dan “Prinsip-prinsip Berdakwah”, Muthahhari telah membahas secara luas mengenai metode-metode dakwah dan prinsip-prinsip utama dalam berdakwah.
Ketiga, dalam kitab Dah Guftor, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan. Pada subbab “Amar Makruf dan Nahi Munkar” dan “Retorika dan Mimbar”, Muthahhari juga telah menguraikan secara rinci mengenai permasalahan amar makruf dan nahi munkar sebagai perwujudan dari dakwah Islam dan faktor-faktor yang mendukung amar makruf nahi munkar tersebut.
Ketiga karya Muthahhari tersebut akan dijadikan buku primer sebagai rujukan utama oleh penulis dalam menganalisis pemikiran Muthahhari dalam bidang dakwah.
A. Dakwah: Misi Utama Para Nabi dan Manusia
Dakwah merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia. Dakwah merupakan sarana untuk mengembalikan manusia kepada fitrah yang sebenarnya. Hal inilah yang selama bertahun-tahun diusung oleh para nabi dan rasul. Mengenai problematika dakwah Muthahhari berpendapat bahwa para nabi secara keseluruhan melaksanakan dua misi: (1) menyampaikan hukum-hukum dan perintah Tuhan kepada manusia dan (2) mengajak umat manusia kepada Tuhan serta mendakwahkan perintah-perintah Ilahi yang sudah diwahyukan. Mayoritas para nabi diberi tugas kenabian untuk melaksanakan misi dakwah ini.
Muthahhari juga berpendapat bahwa dakwah bukan tanggung jawab nabi saja melainkan juga tanggung jawab manusia yang memiliki nilai-nilai kenabian, yaitu yang memiliki pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Allah. Di sinilah letak urgensi dakwah dalam sistem ajaran Islam yang mulia.
B. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Manifestasi Dakwah
Pokok pemikiran dakwah Muthahhari dapat ditelusuri pula dari pendapatnya mengenai prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sebagaimana halnya para ulama lain, Muthahhari pun menekankan pentingnya dakwah dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu pokok amali Islam. Karena merupakan pokok, maka amar ma’ruf nahi munkar secara gamblang ditekankan di dalam al-Qur’an. Berikut ini adalah ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran [3]: 104).
. Konsep dakwah Muthahhari mengenai amar ma’ruf nahi munkar yaitu untuk berdakwah dengan cakupan yang lebih luas. Bukan saja melakukan ceramah-ceramah yang bersifat “dakwah lisan”, melainkan juga harus menjangkau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lebih luas secara nyata, yaitu melalui pendirian sebuah lembaga khusus yang bertugas melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar yang mencakup seluruh sendi kehidupan manusia yang lebih luas. Lembaga inilah yang akan mengawasi seluruh penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat yang kemudian melakukan tindakan pencegahan (preventif) dan pemberantasan (kuratif) yang bersifat gradual dan berkeadilan yang sesuai dengan tujuan syariah Islam, yaitu untuk menciptakan kemashalahan umat.
Di samping itu, satu benang merah yang mesti diteladani oleh setiap aktivis dakwah dari pemikiran Muthahhari, adalah mesti adanya satu usaha untuk mengorganisasikan dakwah menjadi satu aksi yang memiliki rencana, tujuan dan target yang jelas. Ide-ide kreatif dalam menggagas aksi dakwah yang lebih mendatangkan hasil dalam melakukan akitivitas dakwah harus menjadi perhatian pula. Sebab tidak jarang kemungkaran atau kejahatan tidak bisa diberantas melalui ceramah-ceramah yang terkesan menggurui apalagi melalui tindakan-tindakan kekerasan.
C. Prinsip-prinsip Berdakwah menurut Muthahhari
Secara khusus, Muthahhari telah membahas mengenai prinsip-prinsip berdakwah ini yang dapat dirinci ke dalam beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, seorang da’i harus mempunyai rasa takut kepada Allah Swt. Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan dari golongan manusia dan hewan melata serta binatang ternak yang bermacam-macam jenisnya, sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesunguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Pengampun” (QS. Fâthir: 28).
Seorang da’i sudah seharusnya takut kepada Allah sehingga rasa takut dan kebesaran Allah senantiasa melingkupi hatinya, hingga dapat menguasai dan mencegah bilamana bermaksud melakukan suatu kebathilan.
Kedua, seorang da’i hendaknya tidak takut kepada siapa pun juga kecuali kepada Allah. Muthahhari menjelaskan, bahwa ada perbedaan antara rasa takut kepada Allah dengan ketakutan kepada hal-hal lain. Ketakutan berkaitan dengan masa depan dan tujuan seseorang. Sedangkan rasa takut kepada Allah adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak berani untuk melakukan kesalahan. Kitab suci al-Qur’an mengatakan bahwa para da’i yang mendakwahkan perintah-perintah Allah sangat takut kepada-Nya sehingga mereka tidak berani melakukan kesalahan atau menunjukkan sedikit pun saja tanda-tanda ketidakpatuhan kepada Allah Swt. Di sisi lain, ketika mereka berhadapan dengan siapa pun selain Allah, mereka berani dan tidak takut sedikit pun.
Ketiga, seorang da’i harus memiliki sikap keteguhan hati. Hal ini terkait dengan keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Muthahhari dengan mengutip salah seorang penulis Barat mengenai kepribadian Nabi Saw. Di antara keteladanan yang diajarkan Nabi Saw adalah sifat-sifat Nabi, terutama kebijaksanaan dan kearifannya yang bahkan orang-orang non-muslim pun tidak dapat menyangkalnya. Selain itu adalah keteguhan hatinya, sehingga beliau tetap bertindak sesuai dengan keputusan dan kebijaksanaannya di segala kondisi. Banyak kejadian semasa beliau yang terlihat sangat pesimistik, sehingga orang lain sampai kehilangan harapan dan menyerah, namun Rasulullah tetap tegar dan stabil seperti sebuah gunung.
Keempat, di antara tugas dari seorang da’i adalah membangkitkan pikiran dan mengingatkan manusia. Membangkitkan pikiran berarti berpikir tentang sesuatu yang tidak diketahui seseorang dan menemukan sesuatu yang telah diabaikannya. Sedangkan mengingatkan berarti membuat sesuatu yang telah diketahui seseorang timbul kembali. Dengan kata lain, menurut Muthahhari, ada dua keadaan pikiran, yaitu ketidaktahuan dan ketertiduran (lupa). Terkadang seseorang mengabaikan lingkungannya bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga karena ia dalam keadaan tertidur atau bermimpi ataupun lupa, dan karena itu ia lalai dan tidak menggunakan pengetahuannya.
D. Metode Dakwah menurut Muthahhari
Lebih jauh, berikut ini akan disajikan mengenai metode dakwah menurut pandangan Muthahhari.
Pertama, dakwah tidak diperbolehkan melalui usaha-usaha yang menipu dan cara-cara yang keliru. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa Islam sama sekali tidak dapat berdamai dengan kesalahan, dan Islam dengan alasan apapun tidak membolehkan untuk menggunakan jalan kebohongan untuk mencapai kebenaran. Misalnya, mereka tidak berkata benar, dengan mengatakan jika mereka menyebutkan sebuah hadits lemah yang kemudian terbukti palsu, maka hal itu dianggap tidak akan menjadi masalah karena tujuan mereka lebih penting.
Kedua, berdakwah harus dimaksudkan untuk “melapangkan dada seseorang”, yaitu meningkatkan kapasitas iman dalam hatinya. Terkadang penyampaian perintah melalui penjelasan-penjelasan yang nyata tidaklah cukup; seorang da’i harus juga mempengaruhi akal dengan menyampaikan pesan-pesan itu secara benar. Apa yang disampaikan kepada mata dan telinga tidak selalu diterima oleh kesadaran dan pengetahuan. Apa yang mengubah pesan menjadi kesadaran bukanlah suara ataupun bentuk dari simbol-simbol tulisan, namun sesuatu yang disebut dengan nalar dan logika. Pengetahuan tidak menerima selain nalar dan logika. Muthahhari lalu mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl [16]:125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Artinya: “Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat (pengetahuan), pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk”.
Ayat di atas dikutip oleh Muthahhari untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an pun telah menggariskan metode dakwah yang relevan, yang salah satunya melalui metode hikmat, yaitu pengetahuan yang berbasis kepada nalar dan logika.
Ketiga, dakwah mesti disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang dapat meresap ke dalam hati dan jiwa manusia yang paling dalam. Selanjutnya Muthahhari menekankan, bahwa hanya seorang da’i yang pesan-pesannya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang benar dan kuat, namun sederhana dan memberi penerangan yang akan berhasil dalam menyeru manusia kepada Allah. Khutbah Imam Ali, misalnya, yang amat fasih, masih dapat dimengerti oleh orang awam dan orang yang hadir dapat menarik manfaat dari khutbah-khutbah ini berdasarkan tingkat pemahaman mereka masing-masing.
Keempat, dakwah harus mengandung kabar gembira dan peringatan. Hal ini terkait dengan karakteristik utama kenabian sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al-Qur’an di bawah ini.
Artinya: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah (QS. Al-Ahzâb [33]:45-47).
E. Persiapan Da’I (Muballigh)
Kekuatan dakwah seseorang muballigh terletak semata-mata pada kekuatan dakwahnaya. Kekuatan dakwah seseorang mubaligh tergantung kepada kekuatan hujjahnya yang diterima oleh akal yang sehat, dan daya panggilnya yang dapat menjemput jiwa dan raga. Kedua-duanya tergantung kepada:
Persiapan mental (Al I'dan Al – Fikri)
Dalam berdakwah diperlukan keikhlasan dan kesabaran. Dakwah adalah konfrontasi dalam suasana kebebasan berfikir dan berti'tikad. Hasil pekerjaan dakwah memerlukan usaha kontinyu, perhatian yang tidak putus dalam proses pertumbuhan umat yang dibantunnya, seseorang mubaligh menghadapi orang yang banyak, orang banyak itupun "menghadapinya" dengan bermacam-macam cara dan gayanya pula, terutama pada tahap permulaan konfrontasi itu, dia sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit.
Untuk dapat melakukan tugasnya secara kontinyu muballigh harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan, tidak boleh sesek nafas bila ada orang yang menolaknya, mendustakannya, mencemoohkanya, bahkan sampai menyakiti dirinya, apabila yang kita sampaikan itu apa yang terkandung dalam al-qur’an itu, sampaikan apa ayang telah diperintahkan dengan cara dan pada saat yang tepat, walaupun apa yang mereka katakana. Apabila usaha dakwah kita berhasil diajarkannya menjadikan kebahagiaan, rasa bersyukur, rasa bersyukur kepada Allah, sebagai kebahagiaan ruhaniah tertinggi.
Persiapan Ilmu (Tafqqquh Fiddien)
Muballigh harus benar-benar memahami risalah yang hendak disampaikan kepada umat, sesuai dengan bidangnya sehingga risalah itu dapat memberi hidup dan menghidupkan nhati ummat. Untuk itu muballigh itu harus tafaqquh fiddien.
Tafaqquh Fin Nas
Adalah logis apabila seorang mubalig harus pula memahami unsur fitrah manusia, sifat-sifatnya tingkah lakunya, alam fikiran dan alam perasaan masyarakat yang dihadapinya. Disamping hendaknya mengetahui ilmu ilmu jiwa dan perikehidupan manusia sebagai perseorangan dan sebagai anggota masyarakat (makhluk ijtima’i), mengenali adat istiadat, terdiri dari, taraf kehidupan, tingkat kecerdasan, semua itu tidak dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima dan mencernakan isi dakwah. Maka bukan suatu tuntutan yang berlebih-lebihan apabila seseorang pembawa dakwah harus merubah ilmu-ilmu alatnya yang lazim dengan dua tiga ilmu lainnya lagi tidak syah lagi bahasa pengantar yang tersusun rapih merupakan jembatan pembuka ketika penggerak rasa yang menerima panggilan.
Artinya: Dan nasehatilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (An- Nisa’ : 63)
Kesimpulan dan Rekomendasi
Golongan macam apapun yang akan dihadapi masing-masing menghendaki cara yang mengandung “kemudahan” dan “kesulitan” sendiri-sendiri. Pokok persoalan bagi pembawa dakwah, ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam satu keadaan dan suasana yang tertentu. Itulah yang dimaksud dengan hikmah, dalam Al-Qur’an surat An-Nahl: 125.
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Menghadapi cendekiawan yang cinta kebenaran dan berfikir kritis, mereka ini harus dipanggil dengan hikmah yakni da’i harus menyampaikan sesuatu dengan alasan-alasan, dalil-dalin, dan hujjah yang dapat diterima oleh mereka. Menghadapi golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mauidzah hasanah, da’I harus menyampaikan sesuatu sebagai anjuran dan didikan yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difahami.
Adapun menghadapi golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni da’I ketika melakukan sesuatu dengan bertukar pikiran guna mendorong supaya berfikir secara sehat dengan cara-cara yang lebih baik.
Sumber:
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, terjemahan dari kitab “The End of Prophethood” oleh Rusmanhaji, (Lampung: YAPI, 1988), h.30-36.
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, terjemahan dari kitab “The Unschooled Prophet” oleh D. Sofyan & Agustin, (Bandung: Mizan, 1995), h.149-196.
Lihat Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terjemahan dari kitab Dah Guftor oleh Ahmad Subandi (Penulis), (Jakarta: Lentera, 1999), h.61-83.
Dalam beberapa karyanya, meskipun dibahas secara terpisah-pisah, Muthahhari telah membahas mengenai permasalahan dakwah. Pemikirannya mengenai dakwah sedikitnya dapat dilihat di dalam beberapa karya beliau di bawah ini:
Pertama, dalam kitab Khatm Nubuwwah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul yang sama dengan judul aslinya, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The End of Prophethood, dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhir Kenabian (1988). Dalam subbab “Kenabian Dakwah”, Muthahhari telah membahas mengenai urgensi dakwah dan karakteristik dakwah Rasulullah.
Kedua, dalam kitab Payambar Ummy, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Nabîy al-Ummiy, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Unschooled Prophet (1991), dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhlak Suci Nabi yang Ummi. Pada subbab “Menyeru kepada Kebenaran” dan “Prinsip-prinsip Berdakwah”, Muthahhari telah membahas secara luas mengenai metode-metode dakwah dan prinsip-prinsip utama dalam berdakwah.
Ketiga, dalam kitab Dah Guftor, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan. Pada subbab “Amar Makruf dan Nahi Munkar” dan “Retorika dan Mimbar”, Muthahhari juga telah menguraikan secara rinci mengenai permasalahan amar makruf dan nahi munkar sebagai perwujudan dari dakwah Islam dan faktor-faktor yang mendukung amar makruf nahi munkar tersebut.
Ketiga karya Muthahhari tersebut akan dijadikan buku primer sebagai rujukan utama oleh penulis dalam menganalisis pemikiran Muthahhari dalam bidang dakwah.
A. Dakwah: Misi Utama Para Nabi dan Manusia
Dakwah merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia. Dakwah merupakan sarana untuk mengembalikan manusia kepada fitrah yang sebenarnya. Hal inilah yang selama bertahun-tahun diusung oleh para nabi dan rasul. Mengenai problematika dakwah Muthahhari berpendapat bahwa para nabi secara keseluruhan melaksanakan dua misi: (1) menyampaikan hukum-hukum dan perintah Tuhan kepada manusia dan (2) mengajak umat manusia kepada Tuhan serta mendakwahkan perintah-perintah Ilahi yang sudah diwahyukan. Mayoritas para nabi diberi tugas kenabian untuk melaksanakan misi dakwah ini.
Muthahhari juga berpendapat bahwa dakwah bukan tanggung jawab nabi saja melainkan juga tanggung jawab manusia yang memiliki nilai-nilai kenabian, yaitu yang memiliki pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Allah. Di sinilah letak urgensi dakwah dalam sistem ajaran Islam yang mulia.
B. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Manifestasi Dakwah
Pokok pemikiran dakwah Muthahhari dapat ditelusuri pula dari pendapatnya mengenai prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sebagaimana halnya para ulama lain, Muthahhari pun menekankan pentingnya dakwah dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu pokok amali Islam. Karena merupakan pokok, maka amar ma’ruf nahi munkar secara gamblang ditekankan di dalam al-Qur’an. Berikut ini adalah ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran [3]: 104).
. Konsep dakwah Muthahhari mengenai amar ma’ruf nahi munkar yaitu untuk berdakwah dengan cakupan yang lebih luas. Bukan saja melakukan ceramah-ceramah yang bersifat “dakwah lisan”, melainkan juga harus menjangkau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lebih luas secara nyata, yaitu melalui pendirian sebuah lembaga khusus yang bertugas melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar yang mencakup seluruh sendi kehidupan manusia yang lebih luas. Lembaga inilah yang akan mengawasi seluruh penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat yang kemudian melakukan tindakan pencegahan (preventif) dan pemberantasan (kuratif) yang bersifat gradual dan berkeadilan yang sesuai dengan tujuan syariah Islam, yaitu untuk menciptakan kemashalahan umat.
Di samping itu, satu benang merah yang mesti diteladani oleh setiap aktivis dakwah dari pemikiran Muthahhari, adalah mesti adanya satu usaha untuk mengorganisasikan dakwah menjadi satu aksi yang memiliki rencana, tujuan dan target yang jelas. Ide-ide kreatif dalam menggagas aksi dakwah yang lebih mendatangkan hasil dalam melakukan akitivitas dakwah harus menjadi perhatian pula. Sebab tidak jarang kemungkaran atau kejahatan tidak bisa diberantas melalui ceramah-ceramah yang terkesan menggurui apalagi melalui tindakan-tindakan kekerasan.
C. Prinsip-prinsip Berdakwah menurut Muthahhari
Secara khusus, Muthahhari telah membahas mengenai prinsip-prinsip berdakwah ini yang dapat dirinci ke dalam beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, seorang da’i harus mempunyai rasa takut kepada Allah Swt. Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan dari golongan manusia dan hewan melata serta binatang ternak yang bermacam-macam jenisnya, sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesunguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Pengampun” (QS. Fâthir: 28).
Seorang da’i sudah seharusnya takut kepada Allah sehingga rasa takut dan kebesaran Allah senantiasa melingkupi hatinya, hingga dapat menguasai dan mencegah bilamana bermaksud melakukan suatu kebathilan.
Kedua, seorang da’i hendaknya tidak takut kepada siapa pun juga kecuali kepada Allah. Muthahhari menjelaskan, bahwa ada perbedaan antara rasa takut kepada Allah dengan ketakutan kepada hal-hal lain. Ketakutan berkaitan dengan masa depan dan tujuan seseorang. Sedangkan rasa takut kepada Allah adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak berani untuk melakukan kesalahan. Kitab suci al-Qur’an mengatakan bahwa para da’i yang mendakwahkan perintah-perintah Allah sangat takut kepada-Nya sehingga mereka tidak berani melakukan kesalahan atau menunjukkan sedikit pun saja tanda-tanda ketidakpatuhan kepada Allah Swt. Di sisi lain, ketika mereka berhadapan dengan siapa pun selain Allah, mereka berani dan tidak takut sedikit pun.
Ketiga, seorang da’i harus memiliki sikap keteguhan hati. Hal ini terkait dengan keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Muthahhari dengan mengutip salah seorang penulis Barat mengenai kepribadian Nabi Saw. Di antara keteladanan yang diajarkan Nabi Saw adalah sifat-sifat Nabi, terutama kebijaksanaan dan kearifannya yang bahkan orang-orang non-muslim pun tidak dapat menyangkalnya. Selain itu adalah keteguhan hatinya, sehingga beliau tetap bertindak sesuai dengan keputusan dan kebijaksanaannya di segala kondisi. Banyak kejadian semasa beliau yang terlihat sangat pesimistik, sehingga orang lain sampai kehilangan harapan dan menyerah, namun Rasulullah tetap tegar dan stabil seperti sebuah gunung.
Keempat, di antara tugas dari seorang da’i adalah membangkitkan pikiran dan mengingatkan manusia. Membangkitkan pikiran berarti berpikir tentang sesuatu yang tidak diketahui seseorang dan menemukan sesuatu yang telah diabaikannya. Sedangkan mengingatkan berarti membuat sesuatu yang telah diketahui seseorang timbul kembali. Dengan kata lain, menurut Muthahhari, ada dua keadaan pikiran, yaitu ketidaktahuan dan ketertiduran (lupa). Terkadang seseorang mengabaikan lingkungannya bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga karena ia dalam keadaan tertidur atau bermimpi ataupun lupa, dan karena itu ia lalai dan tidak menggunakan pengetahuannya.
D. Metode Dakwah menurut Muthahhari
Lebih jauh, berikut ini akan disajikan mengenai metode dakwah menurut pandangan Muthahhari.
Pertama, dakwah tidak diperbolehkan melalui usaha-usaha yang menipu dan cara-cara yang keliru. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa Islam sama sekali tidak dapat berdamai dengan kesalahan, dan Islam dengan alasan apapun tidak membolehkan untuk menggunakan jalan kebohongan untuk mencapai kebenaran. Misalnya, mereka tidak berkata benar, dengan mengatakan jika mereka menyebutkan sebuah hadits lemah yang kemudian terbukti palsu, maka hal itu dianggap tidak akan menjadi masalah karena tujuan mereka lebih penting.
Kedua, berdakwah harus dimaksudkan untuk “melapangkan dada seseorang”, yaitu meningkatkan kapasitas iman dalam hatinya. Terkadang penyampaian perintah melalui penjelasan-penjelasan yang nyata tidaklah cukup; seorang da’i harus juga mempengaruhi akal dengan menyampaikan pesan-pesan itu secara benar. Apa yang disampaikan kepada mata dan telinga tidak selalu diterima oleh kesadaran dan pengetahuan. Apa yang mengubah pesan menjadi kesadaran bukanlah suara ataupun bentuk dari simbol-simbol tulisan, namun sesuatu yang disebut dengan nalar dan logika. Pengetahuan tidak menerima selain nalar dan logika. Muthahhari lalu mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl [16]:125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Artinya: “Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat (pengetahuan), pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk”.
Ayat di atas dikutip oleh Muthahhari untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an pun telah menggariskan metode dakwah yang relevan, yang salah satunya melalui metode hikmat, yaitu pengetahuan yang berbasis kepada nalar dan logika.
Ketiga, dakwah mesti disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang dapat meresap ke dalam hati dan jiwa manusia yang paling dalam. Selanjutnya Muthahhari menekankan, bahwa hanya seorang da’i yang pesan-pesannya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang benar dan kuat, namun sederhana dan memberi penerangan yang akan berhasil dalam menyeru manusia kepada Allah. Khutbah Imam Ali, misalnya, yang amat fasih, masih dapat dimengerti oleh orang awam dan orang yang hadir dapat menarik manfaat dari khutbah-khutbah ini berdasarkan tingkat pemahaman mereka masing-masing.
Keempat, dakwah harus mengandung kabar gembira dan peringatan. Hal ini terkait dengan karakteristik utama kenabian sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al-Qur’an di bawah ini.
Artinya: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah (QS. Al-Ahzâb [33]:45-47).
E. Persiapan Da’I (Muballigh)
Kekuatan dakwah seseorang muballigh terletak semata-mata pada kekuatan dakwahnaya. Kekuatan dakwah seseorang mubaligh tergantung kepada kekuatan hujjahnya yang diterima oleh akal yang sehat, dan daya panggilnya yang dapat menjemput jiwa dan raga. Kedua-duanya tergantung kepada:
Persiapan mental (Al I'dan Al – Fikri)
Dalam berdakwah diperlukan keikhlasan dan kesabaran. Dakwah adalah konfrontasi dalam suasana kebebasan berfikir dan berti'tikad. Hasil pekerjaan dakwah memerlukan usaha kontinyu, perhatian yang tidak putus dalam proses pertumbuhan umat yang dibantunnya, seseorang mubaligh menghadapi orang yang banyak, orang banyak itupun "menghadapinya" dengan bermacam-macam cara dan gayanya pula, terutama pada tahap permulaan konfrontasi itu, dia sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit.
Untuk dapat melakukan tugasnya secara kontinyu muballigh harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan, tidak boleh sesek nafas bila ada orang yang menolaknya, mendustakannya, mencemoohkanya, bahkan sampai menyakiti dirinya, apabila yang kita sampaikan itu apa yang terkandung dalam al-qur’an itu, sampaikan apa ayang telah diperintahkan dengan cara dan pada saat yang tepat, walaupun apa yang mereka katakana. Apabila usaha dakwah kita berhasil diajarkannya menjadikan kebahagiaan, rasa bersyukur, rasa bersyukur kepada Allah, sebagai kebahagiaan ruhaniah tertinggi.
Persiapan Ilmu (Tafqqquh Fiddien)
Muballigh harus benar-benar memahami risalah yang hendak disampaikan kepada umat, sesuai dengan bidangnya sehingga risalah itu dapat memberi hidup dan menghidupkan nhati ummat. Untuk itu muballigh itu harus tafaqquh fiddien.
Tafaqquh Fin Nas
Adalah logis apabila seorang mubalig harus pula memahami unsur fitrah manusia, sifat-sifatnya tingkah lakunya, alam fikiran dan alam perasaan masyarakat yang dihadapinya. Disamping hendaknya mengetahui ilmu ilmu jiwa dan perikehidupan manusia sebagai perseorangan dan sebagai anggota masyarakat (makhluk ijtima’i), mengenali adat istiadat, terdiri dari, taraf kehidupan, tingkat kecerdasan, semua itu tidak dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima dan mencernakan isi dakwah. Maka bukan suatu tuntutan yang berlebih-lebihan apabila seseorang pembawa dakwah harus merubah ilmu-ilmu alatnya yang lazim dengan dua tiga ilmu lainnya lagi tidak syah lagi bahasa pengantar yang tersusun rapih merupakan jembatan pembuka ketika penggerak rasa yang menerima panggilan.
Artinya: Dan nasehatilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (An- Nisa’ : 63)
Kesimpulan dan Rekomendasi
Golongan macam apapun yang akan dihadapi masing-masing menghendaki cara yang mengandung “kemudahan” dan “kesulitan” sendiri-sendiri. Pokok persoalan bagi pembawa dakwah, ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam satu keadaan dan suasana yang tertentu. Itulah yang dimaksud dengan hikmah, dalam Al-Qur’an surat An-Nahl: 125.
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Menghadapi cendekiawan yang cinta kebenaran dan berfikir kritis, mereka ini harus dipanggil dengan hikmah yakni da’i harus menyampaikan sesuatu dengan alasan-alasan, dalil-dalin, dan hujjah yang dapat diterima oleh mereka. Menghadapi golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mauidzah hasanah, da’I harus menyampaikan sesuatu sebagai anjuran dan didikan yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difahami.
Adapun menghadapi golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni da’I ketika melakukan sesuatu dengan bertukar pikiran guna mendorong supaya berfikir secara sehat dengan cara-cara yang lebih baik.
Sumber:
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, terjemahan dari kitab “The End of Prophethood” oleh Rusmanhaji, (Lampung: YAPI, 1988), h.30-36.
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, terjemahan dari kitab “The Unschooled Prophet” oleh D. Sofyan & Agustin, (Bandung: Mizan, 1995), h.149-196.
Lihat Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terjemahan dari kitab Dah Guftor oleh Ahmad Subandi (Penulis), (Jakarta: Lentera, 1999), h.61-83.